Paibon Hyang Sari Ungasan
Headlines News :

Latest Post

Membedakan Masyarakat Taat dan Lalai, Makna Gelang Tridatu

Written By hyangsari on Rabu, 08 Februari 2017 | 11.45.00

We Wangku Dewik adalah Jero Mangku di Paibon Hyang Sari Ungasan dan juga merupakan tokoh penglingsir dari pengempon PHSU
Gelang Tridatu terbuat dari tiga benang berwarna Merah, Hitam dan Putih. Gelang Tridatu bukanlah Jimat atau bendah bertuah lainnya tapi merupakan simbol dari Dewa Trimurti (Merah simbol Dewa Brahma, Hitam simbol Dewa Wisnu dan Putih adalah simbol Dewa Siwa).

Jadi jika anda berpikir bahwa gelang tridatu adalah jimat itu sama sekali tidak benar. Tridatu adalah simbol dari Hyang Widhi dengan manifestasinya sebagai Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. 

Biasanya dibuat oleh sulinggih di Pura Dalem Ped, Nusa Penida untuk para pemedek yang tangkil ke pura tersebut. 

Selain sebagai lambang Tri Kona (Kelahiran, Hidup dan Kematian) dengan menggunakan tridatu diharapkan kita selalu ingat dengan kebesaran Tuhan sebagai maha pencipta, pemelihara dan pelebur. 

Sejarah Benang Tridatu Dimulai pada abad 14-15 ketika Dalem Watu Renggong menjadi raja di Bali, saat menaklukkan dalem Bungkut (Nusa) oleh Patih Jelantik, telah terjadi kesepakatan antara Dalem Bungkut/Nusa dengan Dalem Watu Renggong, kesepakatan itu bahwa kekuasaan Nusa diserahkan kepada Dalem Watu Renggon (Bali) begitu pula rencang dan ancangan Beliau (Ratu Gede Macaling) dengan satu perjanjian akan selalu melindungi umat Hindu / masyarakat Bali yang bakti dan taat kepada Tuhan dan leluhur, sedangkan mereka yang lalai akan dihukum oleh para rencang Ratu Rede Macaling.

Bila Beliau akan melakukan tugasnya maka Kulkul Pajenanengan yang kini disimpan dan disungsung di puri agung klungkung akan berbunyi sebagai pertanda akan ada malapetaka atau wabah, Benang Tridatu digunakan sebagai simbol untuk membedakan masyarakat yang taat/bakti dengan masyarakat yang lalai/tidak taat, dan sejalan dengan identitas Hindu Bali maka benang tridatu merupakan Indentitas yang tidak tergantikan oleh apapun karena selalu dilindungi oleh kekuatan Hyang Widhi.





Mr. Brain Revolution____________
Sumber : We Mangku Dewik

Bhatara Hyang Guru, Sudah Kenal?, Ini Penjelasannya

Written By hyangsari on Kamis, 22 Desember 2016 | 09.42.00

Dalam lontar Sundarigama yang pada saat Pagerwesi merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru, kita sujud kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosan, kemajuan hidup dll. Gbr Ist
Didalam agama Hindu khususnya di Bali, Bhatara Hyang Guru (Bhatara Guru) yang juga disebut Sang Hyang Pramesti Guru adalah guru sejati. Bhatara Surya memberikan gelar kehormatan “Bhatara Guru” sebagai ucapan terima kasih karena telah menjadi salah satu anak muridnya Dewa Siwa. Gelar itu diberikan kepada beliau karena Dewa Siwa merupakan guru dari para Dewa.

Dalam lontar Sundarigama yang pada saat Pagerwesi merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru, kita sujud kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosan, kemajuan hidup dll.

Dalam Tutur Gong Besi (kelompok naskah yang memuat ajaran Siwaistik) Bhatara Guru adalah Dewa Siwa itu sendiri dengan sebutan Ida Bhatara Dalem.

Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru sebagai Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya.

Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini dan beliaulah penguasa alam kematian yang tidak ada melebihi beliau sehingga beliau juga disebutkan dengan Sanghyang Pamutering Jagat.

Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di Pura Puseh, beliau dipuja sebagai Sanghyang Triyodasa Sakti
  2. Di Pura Desa, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Upasedhana
  3. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati
  4. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana.
  5. Di pertigaan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Sapu Jagat
  6. Di Kuburan atau Setra Agung beliau dipuja sebagai Bhatara Durga
  7. Di tunon / di pemuwunan (tempat pembakaran mayat) beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi.
  8. Di Pura Pengulun Setra, beliau dipuja sebagai Sanghyang Mrajapati
  9. Di Laut, beliau dipuja sebagai Sangyang Mutering Bhuwana
  10. Di Langit, beliau dipuja sebagai Bhuwana Taskarapat
  11. Di Gunung Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Giri Putri
  12. Di Gunung Lebah, beliau dipuja sebagai Dewi Danu
  13. Di Pancuran Air, beliau dipuja sebagai Sanghyang Gayatri
  14. Di Aliran sungai, beliau dipuja sebagai Betari Gangga
  15. Di Sawah, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  16. Di Jineng atau lumbung padi, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  17. Di Bejana (Tempat beras), beliau dipuja sebagai Sanghyang Pawitra Saraswati.
  18. Di dalam priuk Nasi / makanan, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Merta
  19. Di Kemulan, beliau dipuja sebagai Sang Hyang Atma
  20. Di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma
  21. Di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma
  22. Di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton sareng sami. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Ampure yening wenten iwang, suksma....…











Mr. Brain Revolution
dikutip dari pelbagai sumber

Jangan Lupakan Kawitan, Ini Akibatnya

Written By hyangsari on Jumat, 02 Desember 2016 | 09.19.00

Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya. Gbr Ist
Mengetahui Makna dan Sejarah Kawitan di Bali

Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Jadi Kawitan adalah pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali.

Pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Bahwa roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya.

Sejarah Kawitan

Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di jawa kawitan tidak sedetail di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatanya tidak sekuat konsep kawitan di Bali.
Mengenai adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri.

Makna Pura Kawitan

Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya.

Lupa Akan Kawitan

Saat kita sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Itu bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Tidak berarti leluhur menyakiti / membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Karena itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksaan Panca Srada. Pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu.
  1. Percaya terhadap adanya Brahman (percaya akan adanya Sang Hyang Widhi)
  2. Percaya terhadap adanya atman (percaya akan adanya Sang Hyang Atman)
  3. Percaya terhadap adanya karmaphala (percaya akan adanya hukum karma phala)
  4. Percaya terhadap adanya punarbhawa (percaya akan adanya kelahiran kembali)
  5. Percaya terhadap adanya moksa (kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suci)
Mungkin ada yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, Dimanakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi . Memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke Kawitan.

Semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. Jika ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon diluruskan. Terima kasih …. (dikutip dari pelbagai sumber)








Mr. Brain Revolution

Penggambaran dan Cerita Dasa Awatara

Written By hyangsari on Jumat, 26 September 2014 | 12.28.00

Dasa Awatara adalah sepuluh kelahiran Vishnu (Tuhan) ke dunia untuk menyelamatkan makhluk hidup dari bahaya besar. Vishnu adalah pemelihara alam semesta. Ketika alam semesta itu sendiri dalam bahaya, maka Vishnu akan lahir sebagai makhluk hidup untuk menyelamatkan seluruh ciptaan. Berikut disampaikan Krishna (salah satu Awatara) dalam Bhagavadgita (wejangan Krishna):
Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata abhyutthanam adharmasya tadatmanam srjamy aham paritranaya sadhunam vinasaya ca duskrtam dharma samsthapanarthaya sambavami yuge yuge
(Bhagavad-gita, 4.7-8)
Artinya
"Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,
pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia,
wahai keturunan Bharata (yang dimaksud adalah Arjuna)

Untuk menyelamatkan orang-orang saleh
dan membinasakan orang jahat
dan menegakkan kembali kebenaran,
Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman"
Siapa sajakah Dasa Awatara itu?

1. Matsya Awatara (Sang Ikan Raksasa)
Matsya Awatara muncul pada zaman Satya Yuga, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Satyabrata yang lebih dikenal dengan Waiwasta Manu (putra Wiwaswan, Dewa Matahari). Kisah tentang Matsya Awatara ini dapat disimak dalam Matsyapurana.
Suatu saat, Raja Satyabrata sedang mencuci tangan di sungai. Ia melihat seekor ikan menghampiri tangannya dan ia tahu bahwa ikan itu meminta pertolongan. Sang Raja pun membawa ikan itu ke istana dan merawatnya di sebuah kolam. Semakin hari, ikan itu semakin besar sampai memenuhi kolam. Kemudian ikan itu dipindahkan Raja ke kolam yang lebih besar. Namun, kejadian yang sama terus berulang-ulang. Melalui suatu upacara, diketahui bahwa ikan raksasa itu adalah kelahiran Dewa Vishnu. Ada juga versi yang menyebutkan bahwa ikan tersebut dibawa ke samudra. Ikan itu kemudian menyampaikan bahwa dalam tujuh hari banjir bah akan melanda bumi dan memerintahkan sang Raja untuk membangun bahtera besar. Ia juga memerintahkan agar Raja nantinya harus mengisi bahtera tersebut dengan makhluk hidup yang berpasangan, serta membawa Sapta Rsi. Ikan tersebut juga berpesan agar setelah banjir tiba, bahtera tersebut agar diikat di tanduknya dengan naga basuki sebagai talinya.
Seratus tahun kemudian, Bumi dilanda kekeringan dan kelaparan dialami semua makhluk hidup. Tiba-tiba langit diselimuti tujuh macam awan dan terjadilah hujan yang sangat lebat di muka bumi. Raja Satyabrata yng menuruti perintah sang ikan akhirnya selamat beserta para pengikutnya. Ikan tersebut sampai saat ini disebut Matsya Awatara
Kisah dengan tema yang sama juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh dan beberapa kisah lain dari Yunani dan Amerika.

2. Kurma Awatara (Sang Kura-kura)
Kurma Awatara muncul pada zaman Satya Yuga, mengambil wujud kura kura raksasa bernama Akupa. Pada saat itu, para Dewa dan Asura (Raksasa) mengadakan sidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan Tirta Amerta, yaitu air suci yang membuat siapa saja yang meminumnya dapat hidup abadi. Narayana (Vishnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki Tirta Amerta tersebut, aduklah lautan Ksira (Ksirasegara/Ksirarnawa), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta.Kerjakanlah!"
Setelah mendengar perintah itu, para Dewa dan Asura pergi ke lautan susu (Ksirarnawa/Ksirasegara). Mereka memerlukan alat untuk mengaduk lautan tersebut. Di Pulau Sangka (Sangka Dwipa), terdapat Gunung Mandara (Mandaragiri) yang tingginya 11000 yojana. Sang Anantabhoga kemudian mencabut gunung tersebut beserta segala isinya. Setelah mendapat ijin dari Dewa Samudra, Gunung Mandara dijatuhkan ke laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang merupakan penjelmaan Vishnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung tersebut agar tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya agar gunung tersebut tidak melambung ke atas. Kemudian, para Dewa dan Asura memutar gunung Mandara. Para Dewa memegang ekornya, sementara para Asura memegang kepalanya. Setelah lautan diaduk, racun yang disebut Halahala menyebar dan dapat membunuh seluruh makhluk hidup. Dewa Siwa pun meminumnya sampai lehernya berwarna kebiruan (Nilakantha). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, makhluk hidup, dan harta karun pun muncul.
Akhirnya Dhanwantari muncul membawa kendi berisi Tirta Amerta. Para dewa sudah mendapat banyak bagian, sementara Asura belum sedikit pun. Akhirnya para Asura merebut paksa Tirta Amerta untuk dimiliki. Dewa Vishnu kemudian mencari siasat untuk merebut kembali Tirta Amerta. Kemudian Ia menjelma menjadi wanita cantik bernama Mohini yang akhirnya dapat menipu Asura. Tirta Amerta pun kembali ke tangan para Dewa. Menyadari hal itu, Asura marah dan terjadi peperangan antara para Dewa dan para Asura. Dewa Vishnu kemudian mengeluarkan senjata saktinya (Cakra) dan mengalahkan para Asura.
Para Dewa kemudian pergi ke Wisnuloka untuk meminum Tirta Amerta sehingga hidup mereka abadi. Melihat hal itu, seorang Raksasa merubah wujud menjadi Dewa. Namun, Dewa Aditya dan Chandra mengetahui hal itu dan melaporkan pada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu pun berhasil memenggal kepala raksasa tersebut. Namun, kepala raksasa tersebut tetap abadi karena sudah terkena Tirta Amerta. Raksasa itu pun marah dan bersumpah akan memakan Aditya dan Chandra pada pertengahan bulan.

3. Waraha Awatara (Sang Babi Hutan)
Pada zaman Satyayuga (kebenaran), hidup seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik dari Hiranyakasipu. Hiranyaksa hendak menenggelamkan bumi ke dalam "lautan kosmik", suatu tempat antah berantah di alam semesta. Melihat bumi akan mengalami kehancuran, Dewa Vishnu menjelma menjadi Babi Hutan dengan kedua taring yang mencuat dengan tujuan untuk menopang bumi yang dijatuhkan Hiranyaksa. Namun, sebelum Waraha Awatara dapat menopang Bumi kembali, Ia harus mengalahkan Hiranyaksa dalam peperangan yang berlangsung selama ribuan tahun. Akhirnya, Waraha Awatara menikahi Dewi Pertiwi (Dewi Bumi). Waraha Awatara dijelaskan dalam kitab Warahapurana

4. Narasinga Awatara (Manusia Berkepala Singa)
Pada akhir zaman Satyayuga, seorang Raja Asura bernama Hiranyakasipu sangat membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Dewa Wisnu termasuk pengikutnya. Karena bertahun tahun lalu, Hiranyaksa (adiknya) dibunuh oleh Waraha Awatara.
Untuk mendapatkan kesaktian, ia melakukan tapa kepada Dewa Brahma. Ia kemudian memohon berkat untuk hidup abadi. Namun Dewa Brahma tak dapat mengabulkannya. Hiranyakasipu hanya tidak dapat dibunuh oleh Manusia, Hewan, maupun Dewa; saat pagi, siang, maupun malam; di luar maupun di dalam rumah; di air, darat, maupun udara; dan tidak dapat dibunuh dengan segala macam senjata.
Di rumah Hiranyakasipu, Dewa Indra dan bala tentaranya menyerbu. Untungnya, Narada datang dan menyelamatkan Lilawati (istri Hiranyakasipu) dan Prahlada (anak Hiranyakasipu). Prahlada kemudian dididik oleh Narada untuk menjadi pengikut Dewa Vishnu.
Mengetahui hal tersebut, Hiranyakasipu marah besar dan mencoba membunuh anaknya sendiri. Namun, setiap kali mencoba, ia selalu tidak dapat membunuh anaknya. Kekuatan Dewa Wisnu yang tidak terlihat oleh mata Hiranyakasipu selalu menolong Prahlada. Hiranyakasipu pun menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada berkata,"Ia berada di mana-mana, Ia di sini, dan Ia akan muncul"
Pada petang hari itu, Dewa Vishnu muncul sebagai Narasinga Awatara (manusia berkepala singa dan berkuku tajam). Narasinga Awatara dapat mengakhiri Hiranyakasipu. Karena waktu yang tepat, berkat Dewa Brahma tidak berlaku lagi. Hiranyakaksipu memang dibunuh tidak oleh manusia, hewan, maupun dewa; tidak di air, darat, ataupun udara, melainkan di pangkuan Narasinga; tidak di dalam maupun di dalam rumah, melainkan di antaranya; tidak dibunuh dengan senjata, melainkan dengan kuku Narasinga.
Intinya adalah Beliau ada dimana-mana dan akan melindungi setiap pengikutnya tanpa memandang keturunan melainkan hanya ketulusan dan perbuatan baik orang tersebut.

5. Wamana Awatara (Sang Brahmana Mungil) pada jaman Treayuga
Wamana Awatara terdapat dalam Bhagavatapurana. Menurut kitab, ia adalah seorang brahmana mungil, putra Aditi dan Kasyapa. Pada zaman itu (Tretayuga), hiduplah seorang Raksasa bernama Bali, seorang Asura dan cucu dari Prahlada. Ia telah menguasai bumi dan merebut Surga dari Dewa Indra.
Suatu hari, Raja Bali mengadakan acara besar untuk memberikan hadiah kepada para Brahmana. Sukracarya sebelumnya sudah mengingatkan Raja Bali untuk tidak memberikan hadiah kepada Brahmana yang berwujud aneh. Datanglah Wamana Awatara dengan wujud brahmana mungil untuk memohon hadiah. Ia meminta tanah seluas tiga langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan memberikannya sepenuh hati. Tiba-tiba Wamana membesar dan membesar. Langkah pertamanya adalah Surga, langkah keduanya adalah Bumi, karena tidak ada tempat untuk melangkah lagi, maka Raja Bali menyerahkan kepalanya. Dengan itulah Wamana Awatara mengakhiri Raja Bali. Terkesan dengan kedermawanan Bali, Ia kemudian memberinya gelar Mahabali.

6. Parasurama Awatara (Brahmana bersenjata Kapak) pada jaman Tretayuga
Parasurama atau Rama bersenjata kapak adalah putra bungsu Jamadagni, seorang Brahmana. Pada masa mudanya, ia pernah membunuh ibunya sendiri, bernama Renuka. Hal itu karena kesalahan Renuka sendiri sehingga membuat Jamadagni marah besar. Jamadagni kemudian memerintahkan anak-anaknya untuk membunuh ibu mereka dan berjanji akan memenuhi keinginan mereka. Semuanya menolak kecuali Parasurama yang cerdas. Semua kakak-kakaknya yang menolak telah dikutuk menjadi batu. Parasurama kemudian berhasil membunuh ibunya. Sesuai janjinya, Jamadigna akan mengabulkan permintaan Parasurama. Parasurama meminta agar Jamadigna menghidupkan kembali Renuka dan kakak-kakanya dan memperlakukan mereka dengan baik.
Misi Parasurama sendiri adalah menumpas kaum Ksatria yang bertindak sewenang-wenang. Ia bahkan pernah mengelilingi dunia sebanyak tiga kali untuk melakukan itu. Setelah misinya selesai, Parasurama tetap hidup, karena dia adalah seorang Ciranjiwin (abadi). Ia bahkan pernah bertemu Rama dan Krishna, awatara selanjutnya. Itulah keunikan dari Parasurama.

7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Rama purusothama.jpg
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: เคฐाเคฎ; Rฤma) atau Ramacandra (Sanskerta: เคฐाเคฎเคšเคจ्เคฆ्เคฐ; Rฤmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.


8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Krsna flute big.jpg
Kresna (Dewanagari: เค•ृเคท्เคฃ; IAST: kแน›แนฃแน‡a; dibaca [หˆkr̩ส‚ษณษ™]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnyaBhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracaritaMahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.

9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Buddha meditating.jpg
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Gautama Buddha tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nฤstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita,sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya


10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
KalkiAvatara.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: เค•เคฒ्เค•ि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Beliau adalah awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta [anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru.

Awatara lainnya:

Catursana
Vishnu and Four Kumaras.jpg
Catursana atau Caturkumara adalah empat putra Brahma dalam kitab-kitab Purana dalam agama Hindu, yang terdiri dari Sanaka, Sanatana, Sanandana dan Sanatkumara.
Mereka lahir dari pikiran Brahma. Mereka merupakan empat resi (orang suci) yang bersumpah untuk membujang selamanya (brahmacarya), bertentangan dengan kehendak ayah mereka.
Kitab Bhagawatapurana memasukkan Catursana ke dalam daftar dua belas Mahajana (pemuja terbesar atau bhakta) yang meskipun jiwanya sudah bebas dan kekal semenjak lahir, masih melakukan pelayanan kepada Wisnu dari keadaan mereka yang sudah tercerahkan. Meskipun usia mereka sudah tua, legenda mengatakan bahwa mereka berkelana di alam semesta dalam wujud anak kecil. Mereka memegang sejumlah peran penting dalam tradisi spiritual Hindu, khususnya yang berhubungan dengan pemujaan Kresna dan Wisnu.


Narada
Naradablij.jpg
Narada (Dewanagari: เคจाเคฐเคฆ; IAST: Nฤrada) atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai tambura, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.


Nara dan Narayana
Nara dan Narayana.jpg
Nara dan Narayana (Dewanagari: เคจเคฐ-เคจाเคฐाเคฏเคฃ; IAST: Nara-Nฤrฤyaแน‡a) adalah sepasang dewa Hindu. Nara dan Narayana merupakan saudara kembar penjelmaan (awatara) Dewa Wisnu di bumi, bertugas sebagai penegak dharma atau kebenaran. Dalam konsep Nara dan Narayana, jiwa manusia Nara adalah pasangan yang kekal dengan Narayana Yang Mahasuci.
Wiracarita Hindu Mahabharata menyatakan Kresna sebagai Narayana sedangkan Arjuna - pahlawan dalam wiracarita tersebut - sebagai Nara. Legenda Nara dan Narayana juga diceritakan dalam kiab Bhagawatapurana. Umat Hindu percaya bahwa mereka tinggal di Badrinath, di mana kuil terpenting mereka berdiri di sana.
Pasangan Nara dan Narayana biasanya dipuja di kuil-kuil aliran Swaminarayan. Pengikut sekte tersebut percaya bahwa pendiri aliran tersebut (Swaminarayanan) adalah inkarnasi Narayana.


Kapila

Kapila (Dewanagari: เค•เคชिเคฒ เค‹เคทि; IAST: Kapila แน›แนฃi) adalah orang suci Hindu yang dipercaya sebagai salah satu pendiri aliran filsafat Samkhya. Ia memiliki peran penting dalam kitab Bhagawatapurana, yang menampilkan versi teismedalam ajaran filsafat Samkhya. Cerita tradisional Hindu menyatakan bahwa ia merupakan keturunan Manu, cucuBrahma. Kitab Bhagawadgita menggambarkan Kapila sebagai yogi pertapa dengan siddhi, atau kekuatan spiritual, yang sangat tinggi.
Banyak detail tentang kehidupan Resi Kapila diceritakan dalam Buku 3 kitab Bhagawatapurana, di mana disebutkan bahwa orang tua beliau adalah Kardama Muni dan Dewahuti. Setelah ayahnya meninggalkan rumah, Kapila mengajari ibunya, Dewahuti tentang filsafat yoga dan pemujaan yang taat kepada Wisnu, sehingga Dewahuti mampu mencapai kebebasan (moksa). Ajaran Samkhya Kapila juga dituturkan oleh Kresna kepada Udawa dalam Buku 11 kitab Bhagawatapurana, bagian tersebut juga dikenal sebagai "Uddhawagita".


Dattatreya
Ravi Varma-Dattatreya.jpg
Menurut kepercayaan umat Hindu, Dattatreya (Sanskerta: เคฆเคค्เคคाเคค्เคฐेเคฏ; Dattฤtrรฉya) adalah seorang dewa yang merupakan penjelmaan dari Trimurti (tiga dewa utama), yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Dattatreya lahir sebagai putera Resi Atri dan Anasuya. Nama Dattatreya berasal dari kata datta dan atreya. Kata datta berarti "diberi", oleh karena Trimurti telah memberikan perwujudan sebagai putera Atri dan Anasuya. Kata atreya secara harfiah berarti "putra Atri".
Dalam tradisi Natha, Dattatreya dianggap sebagai awatara atau inkarnasi dari Dewa Siwa dan sebagai Adi-Guru (guru pertama) dalam tradisi Adinath Sampradaya. Di India, Dattatreya dipuja oleh berjuta-juta umat Hindu dan berbagai tradisi dilakukan untuk memuliakannya.


Yadnya

Yadnya (Dewanagari: เคฏเคœ्เคž; IAST: Yajรฑa) atau Yadnyeswara ("Penguasa Yadnya") adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu dalam agama Hindu. Ia adalah penguasa seluruh upacara dalam agama Hindu (yadnya). Ia menjabat sebagai Indra pada Manwantara pertama, era Swayambu Manu.


Resaba
Rishabha.jpg
Dalam agama Hindu, Resaba (Sanskerta: เค‹เคธเคญ; แนšแนฃabha) adalah salah satu awatara Wisnu yang disebut dalamPurana. Menurut kitab Purana, ia merupakan putra Nabi dan Maru, dan merupakan keturunan langsung dari Swayambu Manu, manusia pertama di dunia.
Resaba memiliki istri bernama Jayanti, putri Dewa Indra, dan menurunkan seratus putra. Putranya yang tertua bernama Barata. Sebagai awatara Wisnu, Resaba mengajarkan ilmu meditasi yang terbaik, bahkan ia mengajarkannya kepada orang yang sudah ahli dalam bidang meditasi. Ia juga mengajarkan ilmu cara memimpin rakyat dan kebijaksanaan kepada para putranya agar mereka tidak terjerat oleh ilusi dunia. Setelah Resaba wafat, Barata menggantikannya.


Pertu
King Prithu.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Pertu (Sanskerta: เคชृเคฅु ; Pแน›(ri)thu) adalah salah satu awatara Wisnu Ia merupakan putra Wena. Ia menjadi suami Arcisa, dan bapak bagi Wijitaswa, Haryaksa, Dumrakesa, Wreka dan Drawina. Menurut legenda, Pertu dikenal sebagai raja yang agung dan bijaksana. Kejayaannya seperti Bharata. Kisahnya muncul dalam beberapa kitab Purana, seperti misalnya BrahmapuranaMatsyapurana, dsb.


Dhanwantari
Lord Dhanvantari.gif
Dhanwantari (Dewanagari: เคงเคจ्เคตंเคคเคฐी; IAST: Dhanvantari) adalah seorang awatara Wisnu menurut kepercayaan Hindu. Dia muncul dalam kitab Weda dan Purana sebagai tabib para dewa, dan ahli pengobatan menurut Ayurweda. Merupakan tradisi dalam agama Hindu untuk memuja Dhanwantari demi meperoleh kesehatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sastra Hindu, seperti misalnya Purana mengatakan bahwa Dhanwantari muncul dari lautan susu saat para dewa dan asura mencari tirta amerta.
Menurut mitologi Hindu, Dhanwantari merupakan tabib/dokter India yang pertama dan salah satu dokter bedah pertama di dunia. Dia melakukan penyembuhan secara alami dengan sempurna dan dipercaya telah menemukan obat antiseptik dan obat pencegahan berbahan garam yang ia sertakan ketika menyembuhkan seseorang.


Mohini
Vishnu as mohini.jpg
Menurut kepercayaan Hindu, Mohini (Dewanagari: เคฎोเคนिเคจी; IAST: Mohinฤซ) adalah salah satu inkarnasi atau awatara Wisnu yang disebutkan dalam kitab Purana. Mohini berwujud gadis cantik. Dalam mitologi Hindu, Mohini muncul saat kisah pengadukan samudra susu. Dalam bahasa Sanskerta, kata Mohini secara harfiah bisa berarti "bunga melati".


Byasa
Resi Byasa dalam lukisan India modern.
Byasa (Sanskerta: เคต्เคฏाเคธ; Vyฤsa) (dalam pewayangan disebut Resi Abiyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Ia juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda). Ia juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Ia adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata.


Hayagriwa
Lord Hayagriva.jpg
Dalam agama Hindu, Hayagriwa (Dewanagari: เคนเคฏเค—्เคฐीเคต; IAST: Hayagrฤซva) adalah awatara Wisnu yang berwujud manusia berkepala kuda. Dia disembah sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan, dengan tubuh manusia dan kepala kuda, berwarna putih cemerlang, dengan pakaian putih dan duduk di bunga teratai putih. Secara simbolis, mitos tersebut menggambarkan keunggulan pengetahuan sejati, yang dipandu oleh tangan Tuhan, mengatasi kekuatan negatif yang mengandung nafsu dan kegelapan.
Hayagriwa adalah dewa yang sangat penting dalam tradisi Waisnawa. Anugerah-Nya dicari ketika mengawali pembelajaran ilmu suci maupun ilmu sekuler. Ibadah khusus dilakukan pada hari bulan purnama di bulan Agustus (Srawana-paurnami) dan pada Mahanawami, hari kesembilan festival Navaratri. Ia juga dipuji sebagai "Hayasirsa", yang berarti "berkepala kuda".

Presnigarba
Presnigarba (Dewanagari: เคชृเคท्เคจिเค—เคฐ्เคญ; IAST: Pแน›แนฃแน‡igarbha) adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu dalam agama Hindu. Ia merupakan putra Presni dan Sutapa. Awatara ini muncul di hadapan Druwa yang sedang bertapa. Ia menciptakan lapisan dunia yang disebut Druwaloka.


Angsa
Hamsa Avatar.jpg
Dalam agama Hindu, Angsa (Dewanagari: เคนंเคธ; IAST: haแนƒsa) adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu yang disebut dalam kitab Bhagawatapurana. Angsa merupakan salah satu awatara yang muncul pada zaman Satyayuga atau zaman kebajikan. Angsa muncul sebagai awatara berwujud angsa yang memberi pengetahuan suci kepada Dewa Brahma dan para putra Beliau (Catursana).


yabapa.com
Sumber: wikipedia dan google dengan perubahan seperlunya

HARI RAYA PAGERWESI

Written By hyangsari on Rabu, 14 Agustus 2013 | 08.02.00

Jero mangku ngupasaksi saat odalan di Paibon Hyang Sari Ungasan
Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. 

Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur. 

Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: 

"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh." 

Artinya: 

Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia. 

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: 

Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:

Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan). 

Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. 

Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan. 

Makna Filosofi 

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. 

Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati. 

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh." 

Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan. 

Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan. 

Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu: 

Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh). 

Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan. 

Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma. 

Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan. 

Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata. 

Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan: 

Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya. 

Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga. 

Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru. 

Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera. 

Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi. 

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana. 

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta. 

Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat. 

Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia. 


propinsibali.com_____________________________________________________________
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Efek Samping Ngaben Masal Ungasan

Written By hyangsari on Minggu, 04 Agustus 2013 | 08.16.00

Warga paibon hyang sari makemit
Ternyata ngaben massal ungasan menyisakan dampak yang panjang bagi Paibon Hyang Sari Ungasan.

Paibon Hyang Sari merupan paibon yang diempon oleh warga dari 3 desa yaitu Desa Ungasan, Desa Pecatu, Desa Jimbaran.

Ngaben Desa Ungasan dengan Nganen Desa Pecatu berjalan bersamaan cuma berselisih waktu selama kurang lebih 3 minggu. Dimana nganen Desa Ungasan lebih dulu.

Purusa-Pradana, Pura Penataran Agung Ped Nusa Penida

Written By hyangsari on Kamis, 20 Desember 2012 | 01.00.00

Pura Penataran Agung Ped
Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa


Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.

Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.

Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas

Uppsssssssss .... Topeng Jauk Nyari Nyamuk, Di Paibon Hyang Sari Saat Odalan

Written By hyangsari on Minggu, 05 Februari 2012 | 22.56.00

Tari Jauk dan penari  kerahuan, Foto selengkapnya klik disini
Pada hari Minggu tanggal 5 Pebruari 2012, yang merupakan wuku redite wage kuningan,  warga paibon Hyang Sari melakukan piodalan. Piodalan ini merupakan rangkaian ritual yang selalu dilaksanakan setiap enam sasih (enam bulan) sekali. Piodalan hari ini merupakan piodalan nadi karena enam sasih yang lalu dilakukan piodalan encak.

Rencana piodalan yang dimulai jam 15.00 Wita ternyata sedikit molor karena disebabkan adanya persiapan disana sini yang kurang rampung, namun begitu warga sudah berdatangan sejak pukul 14:30 Wita.

Pada jam 15.15 sekaa batel banjar kangin ungasan mulai berdatangan dengan membawa gamelan ke tempat gong di paibon Hyang Sari. Kami dengan beberapa warga duduk-duduk dipemaksan pura sempat berbincang mengenai banyak hal sambil menununggu prosesi odalan berlangsung.

Sekaa kidung sudah mulai mendendangkan kidungan sejak pukul 15:00 wita, dengan dentuman  gong yang
 
Support : Dre@ming Media | Dre@ming Post | I Wayan Arjawa, S.T.
Copyright © 2011. Paibon Hyang Sari Ungasan - All Rights Reserved
Template Created by Excata Published by DLC
Proudly powered by Dre@ming Media